KPK dan Kegamangan Penyusunan Kabinet Pertama Jokowi-JK

BanjarTrendingPolitik6 days ago24 Views

Maksud baik ternyata tidak selalu menyenangkan semua orang. Dalam situasi tertentu, apalagi pelik dan mendesak, tindakan tertentu dengan tujuan baik pun bisa menimbulkan multi tafsir, tergantung kepentingan orang yang menyikapinya.
Maksud dan tujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta penilaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pencatatan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap 43 calon menterinya, sepenuhnya baik dan mulia. Jokowi ingin tokoh-tokoh yang mengisi kabinetnya adalah mereka yang tidak terbebani masa lalu, khususnya berkaitan dengan kasus korupsi.
KPK dan PPATK sudah membalas surat Jokowi dengan memberikan tanda merah dan kuning terhadap sejumlah nama calon menteri. Jokowi bahkan kemudian mengemukakan ada delapan orang yang dicegah KPK. Wajar bila kemudian banyak pihak menebak-nebak siapa nama tokoh-tokoh yang dicegah KPK dan bagaimana konsekuensi selanjutnya. Yang pasti, garis merah KPK tersebut telah mengganggu jadwal pengumuman kabinet, terus mundur karena Jokowi harus mengganti beberapa nama yang dicoret.
Persoalannya, makin lama ditunda, bertambah suburlah spekulasinya. Banyak hal menjadi bahan spekulasi, namun ada beberapa poin yang relevan, perlu menjadi perhatian Jokowi dan orang-orang dekatnya. Pertama, Jokowi dipandang menggunakan catatan KPK dan PPATK sebagai cara untuk menghindar dari tekanan pihak-pihak tertentu. Ia tidak ingin disalahkan bila nama tertentu tidak masuk dalam kabinet.
Kedua, Jokowi dinilai belum mampu melepaskan ketergantungannya pada beberapa tokoh tertentu, terutama ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputeri, yang bisa menyulitkannya ketika hendak mengambil keputusan penting. Bila terus terjadi, hal tersebut bisa mengurangi bobot hak prerogatifnya sebagai presiden, selain menurunkan kecepatan dan kelugasannya dalam mengambil keputusan.
Ketiga, langkah Jokowi dinilai tanggung karena waktu yang diberikan kepada KPK dan PPATK terlalu pendek, hanya tiga hari. Ini menyulitkan kedua lembaga itu untuk memberikan penilaian lebih aktual dan mendalam. Bila waktunya lebih lama, diperkirakan tidak hanya delapan nama yang digaris merah, namun bisa lebih banyak lagi. PPATK, misalnya, memerlukan waktu lebih lama untuk menelusuri data perbankan agar diperoleh fakta-fakta yang akurat dan aktual.
Keempat, Jokowi melupakan salah satu aspek yang sangat penting sebagai prasyarat akuntabilitas pejabat tinggi, yaitu ketaatannya membayar pajak. Selain KPK dan PPATK, Jokowi seharusnya meminta klarifikasi Ditjen Pajak mengenai ketaatan para kandidat menterinya. Ini sangat penting, mengingat tax ratio Indoneisa masih terendah di Asean, sehingga sangat relevan untuk menjamin para menteri kabinet diisi tokoh-tokoh yang taat membayar pajak dan bisa menjadi panutan masyarakat.
Kita mengkhawatirkan pergunjingan publik makin ramai bila Jokowi terus menunda waktu pengumuman kabinetnya. Spekulasinya bisa berkembang kemana-mana, termasuk mulai diragukannya kemampuan Jokowi mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Keraguan tersebut makin berkembang, seperti halnya rumor mengenai nama-nama tokoh yang tidak lolos KPK.
Bisa dipahami bila orang-orang dekat Jokowi mulai gundah, bahkan mengecam pihak-pihak yang dipandang membocorkan nama-nama calon menteri yang terkena garis merah. Andi Widjajanto, misalnya, mengatakan, “Siapapun yang menyebut rapor merah, kuning, melanggar rahasia negara. Siapapun yang menyebut itu bisa diproses pidana rahasia negara,” kata Andi.
Secara normatif memang begitu. Tapi tidak ada manfaatnya ancam-mengancam tersebut. Sebab spekulasi publik mengenai nama-nama itu juga dipicu oleh keterangan Jokowi sendiri. Dia yang menyebut angka 43 nama tokoh, dan dia pula yang mengatakan ada delapan orang yang tidak diperbolehkan KPK menjadi menteri. Pernyataan Jokowi itulah yang memicu spekulasi mengenai nama-nama yang diajukan dan mereka yang dicoret KPK.
Kita hanya bisa mengingatkan, kiranya kasus ini menjadi pelajaran bagi Jokowi dan orang-orang dekatnya. Beruntung ini masih awal masa pemerintahannya sehingga banyak waktu untuk memperbaikinya. Selain merugikan citra Jokowi, kondisi semacam ini juga menimbulkan konsekuensi biaya, waktu dan dampak negatif lain yang kita tidak harapkan.

(Naskah ini dimuat sebagai Tajuk Rencana Sinar Harapan, edisi 24 Oktober 2014)

Banjar
Author: Banjar

Leave a reply

Join Us
  • Facebook38.5K
  • X Network32.1K
  • Instagram18.9K

Stay Informed With the Latest & Most Important News

I consent to receive newsletter via email. For further information, please review our Privacy Policy

Categories

Advertisement

Sign In/Sign Up Search Trending
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...