Beberapa hari lagi kita akan memasuki sebuah Lorong Waktu, yang dikenal sebagai bulan suci Ramadan. Di bulan ini umat Islam menyucikan diri dengan menjalankan aneka ibadah seperti berpuasa, salat tarawih serta sedekah. Di Indonesia lebih khas lagi, ditambah bersilaturahmi ke sanak saudara terutama mengunjungi orang tua. Dengan itu semua diyakini sangat mudah untuk mendapatkan pahala Allah Swt.
Ibadah puasa Ramadan dilaksanakan umat Islam menaati pertintah Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 183 :“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Namun demikian, ijinkan penulis mengingatkan sebuah hadis Kanjeng Nabi Muhammad Saw. riwayat Ath-Thabrani yang menyatakan “Banyak orang yang bepuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya tersebut, kecuali hanya rasa lapar dan haus saja.” Selain itu menurut Kanjeng Nabi : “Setiap amalan anak Adam itu untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya.” (Hadis riwayat Bukhari).
Kedua hadis di atas mengingatkan agar kita membekali diri, lahir batin, sehingga bisa memperoleh mutiara, hikmah dan hakikat puasa Ramadan, dan bukan hanya sekedar mendapatkan lapar dan haus. Puasa oleh para ulama fikih, dimasukkan ke dalam kelompok ibadah mahdah bersama jenis-jenis ibadah lain seperti salat dan haji. Ibadah berasal dari kata al ‘ibadah yang berarti pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan, merendahkan diri dan doa. Dengan demikian ibadah adalah segala hal yang dilakukan, diniatkan dan dipersembahkan sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. sebagai Tuhan yang disembah. (Ensiklopedi Hukum Islam).
Seorang budak disebut al-‘abd karena rendahnya martabat yang bersangkutan di depan sang tuan. Seorang manusia di depan Allah Swt. disebut sebagai al-‘abd karena manusia harus mengabdikan diri kepada Gusti Allah. Maka hakikat ibadah adalah ketundukan, kepatuhan dan kecintaan yang sempurna kepada Allah Swt. Tindakan merendahkan diri di mata Allah ini lazim dilakukan oleh para pengamal tasawuf, yang sering menyebut dirinya sebagai seorang hamba yang fakir dan bodoh, karena memang pada hakikatnya manusia itu lahir polos tanpa membawa dan memiliki apa-apa, tanpa bisa apa-apa kecuali menangis. Harta benda, keluarga, ilmu dan segala yang ada padanya di kemudian hari sesungguhnya adalah milik Gusti Allah Yang Mahaagung, yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya, yang sewaktu-waktu akan diminta kembali oleh-Nya.
Masyarakat awam selama ini mengenal ada dua macam ibadah, yaitu ibadah mahdah dan ibadah muamalah. Namun banyak juga ulama fikih yang membagi ibadah dalam 3 macam:
1). Ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah semata-mata, yakni hubungan vertikal. Ciri-ciri ibadah mahdah adalah semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui Al-Qur’an dan hadis. Contoh: salat, puasa, zakat dan haji.
2). Ibadah ghair mahdhah atau lebih populer disebut ibadah muamalah, yang berarti ibadah yang berkaitan dengan pergaulan, adalah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga berkaitan dengan hubungan sesama makhluk (hablum minallah wa hablum minannaas). Jadi di samping hubungan vertikal sebagaimana ibadah mahdah, juga ada hubungan horizontal. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya, seperti ayat yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya …” (Surat Al-A’Raaf:56).
Ibadah muamalah sangat diperlukan guna mengatur kegiatan manusia dalam menemukan kebaikan bersama dan mengurangi kezaliman atas manusia lain, termasuk melalui penguasaan dan pemanfaatan alam raya secara semena-mena. Berbeda dengan teks dalil dalam ibadah mahdah yang bersifat tetap, khusus dan sudah terinci, teks dalil ibadah muamalah bersifat umum, sehingga membuka peluang untuk ijtihad, menafsirkan secara lebih rinci dan berkembang sesuai dengan zaman dan tempat. Hal itu sesuai dengan sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., “Bila dalam urusan agama ( para ulama menafsirkan sebagai aqidah dan ibadah mahdah) contohlah aku. Tapi, dalam urusan duniamu (teknis mu’amalah), kamu lebih tahu tentang duniamu.” (H.R. Muslim).
3).Ibadah zi al-wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus yakni mahdah dan gair mahdah. Dalam ibadah ini, sebagian maksud dan tujuan persyariatannya dapat diketahui dan sebagian lainnya tidak dapat diketahui. Contohnya adalah nikah dan idah.
Demikianlah wahai sahabatku, puasa yang termasuk dalam ibadah mahdah itu sangat penting dan hukumnya wajib. Namun kalau sekadar menahan makan minum dan syahwat serta tidak melakukan perbuatan maksiat selama bulan Ramadan saja, tidaklah cukup. Karena di samping harus melaksanakan ibadah mahdah yang seperrti itu, ternyata masih banyak lagi hal-hal yang menuntut amal perbuatan, amal saleh kita melalui ibadah muamalah. Memberantas korupsi yang dampaknya luas dan sangat luar biasa jahatnya bahkan lebih jahat dibanding terorisme, membasmi ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat – berbangsa dan bernegara, memerangi penyebab-penyebab kemiskinan, melawan perusakan alam dan lingkungan, demikian pula melawan kezaliman, kemunafikan dan kemungkaran, yang boleh jadi bahkan sedang bersimaharajelala di diri kita, yang justru mungkin tidak kita pahami dan sadari, adalah juga ibadah.
Marilah kita menyiapkan diri lahir-batin, bukan sekedar menyiapkan makanan untuk sahur, berbuka ataupun pakaian baru serta aneka materi lainnya.
Semoga dengan rida Allah Yang Mahakuasa kita bisa melaksanakan. Amin.
*) Diolah dari buku MUTIARA HIKMAH PUASA, AGAR TIDAK HANYA MENDAPATKAN LAPAR & HAUS, B.Wiwoho, Penerbit Panji Masyarakat (panjimasyarakat.com atau panjimasbook.com).
#mutiara hikmah puasa #ramadan #ibadah mahdah #ibadah muamalah #ibadah zi al-wajhain #ghair mahdhah #lapar dan haus #b.wiwoho